Wisata Telaga Ngebel Ponorogo

07.16 0
Telaga Ngebel Ponorogo

Yaaa pada postingan ini saya akan mendiskripsikan tentang terlga Ngebel. Telaga ngebel terletak di 20 km dari pusat kota, jika ditempuh dengan waktu rata-rata 30 menit,jalan menuju ke telaga ngebel banyak tikungan dan tanjakan, biasanya ramai di akhir pekan oleh mua-mudi yang berkunjung.

Pemandan disan sangat indah apalagi jika dilihat pada sre hari untuk melihat sunset ditelaga ngebel,selain pemandangan yang indah telaga ngebel juga terkenal pada wisata kulinernya seperti Nila Bakar, sate yang terdapat disekitar pinggiran telaga ngebel, yang tentunya sangat menarik untuk  di cicipi sambil menikmati pemandangan telaga, selain makanan ada buah durian yang sering dijuluki sebagai king of fruit yang ada dingebel pada saat musim nya.

Pada waktu bulan Muharam atau sru biasa disebut orang jawa, ditelaga ngebel digelar sebuah acara,yaitu larungan sesaji acara yang ditunggu-tunggu warga ponorogo acara tersebut dilaksanakan untuk sebagai ungkapan rasa sukur kepada Tuhan YME atas nikmat yang diberikan pada warga ponorogo, dan pada acara ini selalu banyak menyedot wisatawan lokal maupun luar kota yang ingin melihat prosesi larungan sesaji.

Bila anda berkunjung ketelaga ngebel anda akan di manjakan oleh fasilitas-fasilitas yang lumayan lengkap diantaranya yaitu tempat penginapan yang cukup banyak dan harga penyewaan yang cukup terjangkau.

Sejarah Pembawa Agama Islam Di Ponorogo

07.14 0
Area Makam Batoro Katong

Makam Batoro Katong ini adalah salah satu situs peninggalan yang ada di pnorogo yang terletak di desa setono, kecamatan Jenangan kurang lebih lima menit dari pusat kota, situs ini digunakan untuk wisata rohani dan berikut sejaranya:

Raden Katong, yang kemudian lazim disebut Batoro Katong, bagi masyarakat Ponorogo mungkin bukan sekedar figur sejarah semata. Hal ini terutama terjadi di kalangan santri yang meyakini bahwa Batoro Katong-lah penguasa pertama Ponorogo, sekaligus pelopor penyebaran agama Islam di Ponorogo.

Batoro Katong, memiliki nama asli Lembu Kanigoro, tidak lain adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V dari selir yakni Putri Campa yang beragama Islam. Mulai redupnya kekuasaan Majapahit, saat kakak tertuanya, Lembu Kenongo yang berganti nama sebagai Raden Fatah, mendirikan kesultanan Demak Bintoro. Lembu Kanigoro mengikut jejaknya, untuk berguru di bawah bimbingan Wali Songo di Demak. Prabu Brawijaya V yang pada masa hidupnya berusaha di-Islamkan oleh Wali Songo, para Wali Islam tersebut membujuk Prabu Brawijaya V dengan menawarkan seorang Putri Campa yang beragama Islam untuk menjadi Istrinya.

Berdasarkan catatan sejarah keturunan generasi ke-126 beliau yaitu Ki Padmosusastro, disebutkan bahwa Batoro Katong dimasa kecilnya bernama Raden Joko Piturun atau disebut juga Raden Harak Kali. Beliau adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V dari garwo pangrambe (selir yang tinggi kedudukannya).

Walaupun kemudian Prabu Brawijaya sendiri gagal untuk di-Islamkan, tetapi perkawinannya dengan putri Cempa mengakibatkan meruncingnya konflik politik di Majapahit. Diperistrinya putri Cempa oleh Prabu Brawijaya V memunculkan reaksi protes dari elit istana yang lain. Sebagaimana dilakukan oleh seorang punggawanya bernama Pujangga Anom Ketut Suryongalam. Seorang penganut Hindu, yang berasal dari Bali.

Tokoh yang terakhir ini, kemudian desersi untuk keluar dari Majapahit, dan membangun peradaban baru di tenggara Gunung Lawu sampai lereng barat Gunung Wilis, yang kemudian dikenal dengan nama Wengker (atau Ponorogo saat ini). Ki Ageng Ketut Suryangalam ini kemudian di kenal sebagai Ki Ageng Kutu atau Demang Kutu. Dan daerah yang menjadi tempat tinggal Ki Ageng Kutu ini dinamakan Kutu, kini merupakan daerah yang terdiri dari beberapa desa di wilayah Kecamatan Jetis.

Ki Ageng Kutu-lah yang kemudian menciptakan sebuah seni Barongan, yang kemudian disebut REOG. Dan reog tidak lain merupakan artikulasi kritik simbolik Ki Ageng Kutu terhadap raja Majapahit (disimbolkan dengan kepala harimau), yang ditundukkan dengan rayuan seorang perempuan/Putri Campa (disimbolkan dengan dadak merak). Dan Ki Ageng Kutu sendiri disimbolkan sebagai Pujangga Anom atau sering di sebut sebagai Bujang Ganong, yang bijaksana walaupun berwajah buruk.

Pada akhirnya, upaya Ki Ageng Kutu untuk memperkuat basis di Ponorogo inilah yang pada masa selanjutnya dianggap sebagai ancaman oleh kekuasaan Majapahit. Dan selanjutnya pandangan yang sama dimiliki juga dengan kasultanan Demak, yang nota bene sebagai penerus kejayaan Majapahit walaupun dengan warna Islamnya. Sunan Kalijaga, bersama muridnya Kiai Muslim (atau Ki Ageng Mirah) mencoba melakukan investigasi terhadap keadaan Ponorogo, dan mencermati kekuatan-kekuatan yang paling berpengaruh di Ponorogo. Dan mereka menemukan Demang Kutu sebagai penguasa paling berpengaruh saat itu.

Demi kepentingan ekspansi kekuasaan dan Islamisasi, penguasa Demak mengirimkan seorang putra terbaiknya, yakni yang kemudian dikenal luas dengan Batoro Katong dengan salah seorang santrinya bernama Selo Aji dan diikuti oleh 40 orang santri senior yang lain.

Raden Katong akhirnya sampai di wilayah Wengker, lalu kemudian memilih tempat yang memenuhi syarat untuk pemukiman, yaitu di Dusun Plampitan, Kelurahan Setono, Kecamatan Jenangan. Saat Batoro Katong datang memasuki Ponorogo, kebanyakan masyarakat Ponorogo adalah penganut Budha, animisme dan dinamisme.

Singkat cerita, terjadilah pertarungan antara Batoro Katong dengan Ki Ageng Kutu. Ditengah kondisi yang sama sama kuat, Batoro Katong kehabisan akal untuk menundukkan Ki Ageng Kutu. Kemudian dengan akal cerdasnya Batoro Katong berusaha mendekati putri Ki Ageng Kutu yang bernama Niken Gandini, dengan di iming-imingi akan dijadikan istri.

Kemudian Niken Gandini inilah yang dimanfaatkan Batoro Katong untuk mengambil pusaka Koro Welang, sebuah pusaka pamungkas dari Ki Ageng Kutu. Pertempuran berlanjut dan Ki Ageng Kutu menghilang, pada hari Jumat Wage di sebuah pegunungan di daerah Wringin Anom Sambit Ponorogo. Hari ini oleh para pengikut Kutu dan masyarakat Ponorogo (terutama dari abangan), menganggap hari itu sebagai hari naas-nya Ponorogo.

Tempat menghilangnya Ki Ageng Kutu ini disebut sebagai Gunung Bacin, terletak di daerah Bungkal. Batoro Katong kemudian, mengatakan bahwa Ki Ageng Kutu akan moksa dan terlahir kembali di kemudian hari. Hal ini dimungkinkan dilakukan untuk meredam kemarahan warga atas meninggalnya Ki Ageng Kutu.

Setelah dihilangkannya Ki Ageng Kutu, Batoro Katong mengumpulkan rakyat Ponorogo dan berpidato bahwa dirinya tidak lain adalah Batoro, manusia setengah dewa. Hal ini dilakukan, karena Masyarakat Ponorogo masih mempercayai keberadaan dewa-dewa, dan Batara. Dari pintu inilah Katong kukuh menjadi penguasa Ponorogo, mendirikan istana, dan pusat Kota, dan kemudian melakukan Islamisasi Ponorogo secara perlahan namun pasti.

Pada tahun 1486, hutan dibabat atas perintah Batara Katong, tentu bukannya tanpa rintangan. Banyak gangguan dari berbagai pihak, termasuk makhluk halus yang datang. Namun, karena bantuan warok dan para prajurit Wengker, akhirnya pekerjaan membabat hutan itu lancar.

Lantas, bangunan-bangunan didirikan sehingga kemudian penduduk pun berdatangan. Setelah menjadi sebuah Istana kadipaten, Batara Katong kemudian memboyong permaisurinya, yakni Niken Sulastri, sedang adiknya, Suromenggolo, tetap di tempatnya yakni di Dusun Ngampel. Oleh Katong, daerah yang baru saja dibangun itu diberi nama Prana Raga yang berasal atau diambil dari sebuah babad legenda "Pramana Raga". Menurut cerita rakyat yang berkembang secara lisan, Pono berarti Wasis, Pinter, Mumpuni 

Jalan Baru Suromenggolo

07.05 0
Jalan Baru Suromenggolo Saat Car Free Day

Jalan baru Suromenggolo terletak disebelah selatan Stadion Batoro Katong , jalan ini sangat terkenal di Ponorogo karena serba- serbinya yang banyak , mungkin pikiran masyarakat mengenai tempat ini masih negatif karena kehidupan malam nya ,hal itu wajar saja karena bila malam hari banyak sekali warung – warung angkringan dipinggir jalan yang menjual berbagai makanan dan minuman dengan penjualnya yang berpakaian kurang sopan , semakin malam jalan ini semakin ramai oleh para pengunjung ,sebelumnya tempat ini juga sering digunakan untuk arena balapn liar tapi sekarang sudah tidak ada lagi karena pengawasan yang ketat dari pihak keamanan kota Ponorogo. 

Walau pun banyak sisi negatifnya tetapi juga ada sisi positifnya diantaranya pada hari minggu dinakan car free day, senam, olahraga, dan drag race yang resmi mempunayi ijin atau legal.

Apalagi saat ini pemerintah sangat mendukung sarana dan prasarana jalan baru, contonya dipinggir jalan baru dibangun area untuk berbagai kegiatan, dan ini tentu sangat bagus untuk menunjang sarana dan prasarana yang digunakan pengunjung agar pengunjung nyaman dan bertambah banyak

Seiring berjalanya waktu jalan baru pun sekarang semakin baik dalam perkembangannya.